Cari Disini

Minggu, 25 November 2012

Senyum Di Wajah Bae


23 Nopember 2012

“Kenapa Bae sering ga sekolah?” tanyaku
“Ga punya ongkos, Bu,” jawab Bae polos. Dia memainkan lengan baju putihnya yang kucel dan ngatung. Mataku sudah mulai ga bisa kompromi. Ada air mata di sudut mataku siap tumpah.
“Emang ongkos ke sekolah berapa bolak balik?” tanyaku
“2 ribu,” jawabnya. Aku melihat Bae dari atas sampai bawah. Kelihatan celana putihnya pun sudah ngatung pula. Yang pasti bukan karena model jangkis dia berpakaian seperti itu. Sejak masuk SMP baju seragamnya gak ganti-ganti.
Hadeuh, ngelus dada rasanya denger jawaban Bae seperti itu. Bayangkan, jaman milenium begini masih ada orang yang nggak bisa sekolah gara-gara ga bisa bayar ongkos angkot 2 ribu perak. Kalo SPP sudah pasti anak ini menunggak berbulan-bulan. Aku tanya ke bagian TU, Bae sudah menunggak sejak Agustus 2012. Itu artinya sejak Kelas III Semester I dia ga bisa bayar SPP. Padahal SPP Bae hanya 60 ribu rupiah. Bandingkan dgn SPPnya Zaki ketika TK sebanyak 350 ribu. Duh, Gustiii...

Penasaran dengan sosok Bae, aku menghubungi wali kelasnya.
“Bae sering alpa, Bu. Kalo prestasi, Bae termasuk yang biasa-biasa aja, golongan menengah ke atas. Perilaku Bae juga baik, tidak nakal. Namun sayang aja sering tidak masuk. Saya sudah mengajukan agar Bae diberikan SKT agar terbebas dari SPP, namun saya kurang tahu kenapa sekolah ga bisa mengeluarkan,” Gurunya menjelaskan.

Aku pun menjelaskan bahwa kedatanganku ke sekolah  Bae untuk menyampaikan amanah dari seorang donatur yang akan membayar SPP Bae. Gak tanggung-tanggung, yang dibayar SPP sampe Juni 2013, hingga Bae lulus kelas III SMP.  Mudah-mudahan dengan lunasnya SPP Bae, Bae tidak minder lagi sekolah, lebih semangat untuk sekolah, tidak bolos lagi dan yang penting Bae dapat berprestasi.

Siapakah Bae? Bae adalah Ahmad Baehaqi, anak kedua dari empat bersaudara. Kakaknya sudah lulus SMK dan baru 10 hari dapat pekerjaan. Tinggal di daerah Ciherang, Dramaga, Bogor.  Bae adalah anak laki satu-satunya. Satu adik perempuannya masih kelas 2 SD dan satu adiknya lagi masih 3 tahun.  Ibunya hanya ibu rumah tangga biasa, bapaknya kerja di bengkel sepatu. Kondisi ekonomi yang sedang sulit membuat orang tuanya hanya bisa memberikan pangan saja, tidak bisa mencukupi kebutuhan lainnya. Masih beruntung anak sulungnya bisa lulus SMK. Orang tuanya berharap, anak laki satu-satunya itu pun dapat mengikuti jejak kakaknya, lulus hingga tingkat SMU.  Karena suatu saat Bae pasti akan menjadi tulang punggung keluarga, mereka merasa tidak boleh gagal mendidik Bae.

Aku jadi ingat Bayek di novelnya “Ibuk” karya Iwan Setiawan. Anak lelaki satu-satunya di keluarga Ibuk berhasil dalam karirnya dan mengangkat keluarganya dari keterpurukan. Padahal ketika sekolahnya, sepatu Bayek aja sampe bolong ga ganti-ganti. Novel ini aku pinjamkan ke anak sulungnya agar menjadi motivasi bahwa kemiskinan tidak menjadi penghalang untuk menjadi sukses, agar mereka jadi anak-anak yang tangguh dan bersemangat. Hingga akhirnya anak sulungnya itu punya keinginan untuk kuliah lagi jika ada kesempatan. Meskipun sekarang dia bekerja, tapi keinginan itu sudah ada. Aku pun memperkenalkan beberapa sekolah kedinasan yang mungkin bisa jadi pilihan.  
Trims banyak untuk Pak Goen atas novelnya. :-)

Kembali ke cerita tentang Bae. Sepulang dari sekolah Bae, aku pergi mencari rumah Bae. Tidak terlalu sulit mencari rumahnya. Dengan bekal ilmu selama menjadi Tim Buser (Buru Sertifikat) Barjam (hehe...), akhirnya aku menemukan kontrakan rumah Bae dan bertemu orang tuanya. Ibunya begitu gembira melihat aku turun dari ojeg.  Kegiatan rutinnya menjemur baju langsung dihentikan. Wajahnya tirus, badannya kurus. Dia masih memakai daster ungu dengan bolong disana sini. Yang jelas bukan model seksi juga dia berpakaian seperti itu.

Aku dipersilakan masuk dan disuguhi air putih. Seperti biasa, sepanjang pertemuan dengan Ibunya Bae selalu diwarnai dengan tangis-tangisan. Bukan dia aja, aku juga obral tangisan. Aku sampaikan kuitansi pelunasan SPP Bae. Dia terkejut dengan jumlah yang besar yang tertera di kuitansi. Aku bilang, Alhamdulillah ketika dinas kemaren aku bertemu seorang teman yang sangat baik hati dan mau membantu keluarga Bae. Ibunya Bae langsung nangis lagi, kalo nggak dicegah barangkali sampe sungkem-sungkem.
“Alhamdulillaaaaaa...h Teh, Ibu sangat berterima kasih. Tolong sampaikan ke Ibu yang sudah membayar SPP Bae. Hatinya sungguh mulia, mudah-mudahan diganti oleh Allah dengan rejeki yang berlipat-lipat. Ibu dan anak-anak pasti nggak akan lupa. Bae jadi tidak  putus sekolah,  Bae pasti akan semangat sekolah. Ibu juga selalu mengingatkan ke anak-anak teh agar selalu ingat dan mendoakan orang-orang yang sudah membantu Ibu. Mudah-mudahan dikabulkan ku Allah semua keinginannya. Tolong sampaikan ya Teh.....” katanya.

Aku mengiyakan. Seketika aku teringat masa-masa sekolahku. Ketika keadaan ekonomi yang sulit, aku pun kesulitan membayar SPP. Alhamdulillah ada tetangga yang sangat peduli dengan keluargaku. Mereka sangat dekat sehingga sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Apa Wasman dan Ibu. Mereka bukan orang kaya raya, mereka hanya orang yang berkecukupan namun berhati mulia. Merekalah yang turut berjasa membesarkan aku. Tidak punya hubungan darah, tidak ada pertalian keluarga. Tapi mereka peduli dengan apa yang kami alami. Aku ingin mewarisi kedermawanan  Apa dan Ibu.

Rasanya gimana....gitu  jika aku tidak peduli dengan orang-orang yang sedang kesulitan terutama untuk sekolah. Aku ingin mereka memiliki kesempatan yang sama, minimal  seperti aku. Aku ingin mereka merasakan manisnya keberhasilan yang pernah Emih alami ketika anak-anaknya sudah bekerja dengan mapan. Aku ingin melihat mereka tersenyum dengan keyakinan bahwa masa depan tidak sesuram apa yang mereka alami sekarang. Tidak perlu menunggu jadi kaya raya untuk jadi dermawan, tidak perlu menunggu banyak materi untuk jadi dermawan. Menjadi dermawan dengan segala yang sudah ada pada diri kita. Memberi semangat, memberi do’a, memberi peluang, memberi harapan, itu yang baru bisa aku  lakukan.

Terimakasih banyak kepada semua teman yang sudah membantu dan berpartisipasi.
Sekarang sudah ada senyum di wajah Bae. :-)

Janji Rafli


1.tidak mendorong  zaki
2.tidak naik jemputan pa wandi lagi
3.tidak di depan  lagi karna di depanya ada zaki
4.tidak pulang
5.segera berwudu jika mendengar azan
6.tidak memaksa zaki
7.pulang nya ter lambat
8.tidak muda menangis
9.tidak marah
10.tidak sampai ke rumah rafli
11.tidak mandi
12.tidak pake sabun
13.tidak pake sampo
14.tidak pake baju tidur
15.tidak sekolah lagi

Minggu, 18 November 2012

Soft Launching Manajemen W2S


        Bicara tentang dagang, ada satu hal yang selalu menimbulkan rasa ketertarikanku sejak dulu. Kayaknya enak banget ya, sering terima uang dari pembeli. Beda banget sama karyawan yang hanya terima gaji sebulan sekali. Kalo tanggung bulan cuma gigit jari. Mantab dah (bukan mantap) alias makan tabungan.
      Usaha berdagang sudah aku lakoni sejak SD. Sebelum pasar Sumedang dibongkar sekitar tahun 1980 - 1990 Emih dan Apih punya kios sepatu. Kalo hari libur, giliranku buka lapak. Ada kepuasan tersendiri ketika beres-beres menata sepatu ke dalam rak-raknya. Kalo udah beres semua, tinggal nangkring nunggu orang beli. Kalo lagi iseng, semua orang yang lewat depan kios ditawarin.
“Mangga A, sapatu, sendal, tingalian heula” kataku.
Artinya : Silakan, Mas, sandal, sepatu diliat-liat dulu...
      Kalo lagi bulan puasa menjelang lebaran, lebih seru lagi. Para pedagang lebih banyak ngalong alias dagang di pasar 24 jam. Sepulang tarawih, kadang-kadang aku dan sodar-sodaraku ke pasar. Bukan Cuma mau bantuin Emih n Apih, tapi utamanya pengen ngabaso di warung basonya Mang Yanto. Hehe…Kesanku mengenai pengalaman dagang semasa kecil adalah berdagang itu enak. Ya iyalah enak cuma terima uang dari pembeli. Anak-anak mana tahu kalo orang tuanya itu ketar ketir mikirin modal dagang.
       Setelah aku resmi menjadi PNS dan bekerja di balik meja di tahun 1999, lama sekali rasanya tidak berhubungan dengan dunia dagang. Apalagi setelah Warung Nasi 45 tidak beroperasi lagi, tempat berlatihku tidak ada lagi.
         Sempat vakum beberapa tahun, ketika kemudian patung sepatu Cibaduyut Bandung memberi inspirasi. Selama kerja di Bandung, aku tinggal di rumah Ceuceu, kakak yang tinggal  di Kopo Sayati.  Setiap hari aku lewat di depan patung sepatu Cibaduyut.  Dan iseng-iseng berhadiah aku nyari peluang dagang disana.  Dengan info dari seorang teman, aku pergi ke toko sepatu Garsel. Ternyata disana udah banyak juga para pedagang yang ngeborong  sepatu Garsel. Rupanya selain menjual eceran, Garsel juga menjual grosir dengan diskon. Pedagang cukup membawa katalog sepatunya, dan sepatu yang dipesan juga bisa diretur jika tidak cocok ukurannya.
         Selama kerja di KLN Bandung yang kemudian diubah jadi KPKNL Bandung 2, aku berjualan sepatu dan sandal. Siapapun mantan KLN Bandung dan KPKNL Bandung 2 pasti tahu dan kenal dengan Garsel. Dengan modal seadanya, laba yang kuperoleh juga lumayan lah untuk ukuran bujangan. Hehe…. Pikirku gapapa, yang penting uang ngalir dan ada lebihnya. Mulai dari sinilah aku mulai berpikir tentang modal.
         Disamping jualan sepatu dan sandal Garsel, aku punya peluang dagang yang lain. Yang ini karena hobi aku yang suka makan makanan asin. Kalo lebaran, makanan yang paling kusuka adalah kue cistik bikinan Ceuceu.  Aku lebih menyukai makanan yang satu itu ketimbang kue-kue manis yang lain. Lama-lama kalo lebaran aku bikin sendiri cistiknya dan mulai menawarkan ke teman-teman. Respon teman-teman cukup baik. Mereka banyak memesan cistik. Bermodalkan peralatan dari Ceuceu, selama 2 kali lebaran aku memenuhi pesanan cistik. Keuntungan cistik lumayan juga, tapi sayang aku kesulitan dalam mengatur waktu pembuatannya. Kadang-kadang pulang kerja sore-sore harus ke dapur sampai malam. Kadang-kadang juga kalo resepnya nggak tepat takarannya, cistik berbusa ketika digoreng dan tidak sesuai harapan jadinya.
          Pengalaman berjualan ketika bujangan tidak dilakoni secara maksimal karena keinginan yang tumpang tindih dengan panggilan jiwa yang lain, yaitu kegiatan ulin (maen). Hehe.. Maen ke gunung, maen cari tempat untuk menyepi, maen ala lone ranger. Semua kegiatan itu cukup menyita waktu. Walhasil, pengalaman berdagang cukuplah sebagai pembelajaran untuk ke depannya.
         Setelah menikah dan punya momongan di tahun 2005, belum terpikir lagi untuk berdagang. Kalo ada usaha yang enak, tanpa bekerja, tau-tau terima uang gede, mungkin itu jadi pilihan. Kalo ada….. hehe…  Ternyata peluang seperti itu ada juga loh. Kirain cuma impian doang.  Seorang teman menawarkan investasi dalam bentuk rental mobil. Dengan modal uang muka pembiayaan mobil, jadilah aku investasi dengan harapan tiga tahun kemudian mobil itu bisa kita miliki. Kita tidak usah mikirin angsuran, tidak usah mikirin servis, tidak usah mikirin pajak mobil. Semua ditanggung perusahaan rental. Selama setahun berjalan, semua berjalan normal. Salahnya aku sebagai investor, tidak memonitor keberadaan mobil tersebut, tidak mengecek pembukuan perusahaan tersebut, tidak melihat dulu bagaimana perusahaan tersebut beroperasi dan yang paling penting tidak mengenal dengan baik pemilik perusahaan tersebut. Kelanjutannya sangat mengecewakan karena ternyata pemilik perusahaan mismanajemen sehingga dilaporkan salah satu investor ke polisi. Dia pun dipenjara, mobilku pun ditarik leasing. Aku ya gigit jari. Pengalaman tersebut memberi pembelajaran bahwa  menjadi investor itu harus kritis.
          Gagal di bisnis berupa investasi tidak menjadikan aku down atau frustasi atau kapok untuk berdagang. Aku berpikir kayaknya kalo pengen punya uang, aku harus capek dengan menguras tenaga , jangan terlalu berharap yang muluk-muluk, yang berlebihan. Dagang dengan keuntungan sedang tapi berkelanjutan mungkin lebih baik.  Tapi sampai beberapa tahun belum kelihatan peluang apa yang bisa dijadikan bisnis.
         Di tahun 2009, aku dan suamiku nekad membeli rumah di Villa Bogor Indah 3. Padahal untuk menicil rumah tiap bulannya belum kelihatan sumbernya dari mana. Bismillah saja…. Bukan apa-apa, ternyata capek juga pindah-pindah rumah. Angkut sana angkut sini, bayar kontrakan juga.  Ternyata setelah punya domisili yang tetap, rejeki gampang mengalirnya. 
        Di akhir tahun 2010, aku bertemu tetangga lama. Dan dia menawarkan bisnis TUPPERWARE. Di waktu yang sama, adikku yang bungsu, Acu, menawarkan barang yang sama sebagai reseller.  Hm…. Antara penawaran dan permintaan ketemu nih pikirku. Tanpa berpikir panjang, aku segera mempelajari proses bisnisnya dan  ternyata cukup menarik. Jiwa dagangku terpanggil lagi. Hanya saja, kali ini aku tidak menjadi owner sekaligus marketing. Kali ini aku menjadi manajer karena sekarang aku memiliki beberapa sumber daya yang harus aku manage sedemikian rupa, sehingga tujuan usahaku tercapai. Aku memiliki sumber daya berupa modal dan tenaga kerja yang harus digaji atas kinerjanya. Kalo udah gini, jadi inget pelajaran manajemen jaman baheula.  Aku juga membuat pembukuan sederhana untuk semua transaksi sehingga perjalanan modalku kelihatan. Yah, itung-itung mengamalkan ilmu akuntansi yang aku dapat dari UNPAS, biarpun gak lulus. Hehe….Alhamdulillah dengan modal awal sekitar Rp 13 juta, sekarang di tahun 2012 modalku telah membengkak menjadi sekitar Rp 25 juta. Sudah mencapai BEP, merayap tapi pasti.
      Sudah 2 tahun usahaku berjalan. Tapi aku belum berpikir untuk melirik jenjang karier di TUPPERWARE. Selama ini aku hanya menjadi Dealer atau dalam istilah awam hanya jadi agen dengan level paling bawah. Untuk mempunyai jenjang lebih tinggi yaitu Captain, harus punya modal yang lebih dari lumayan karena setiap bulannya harus memiliki stok barang yang cukup banyak sebelum dibagikan kepada dealer dan tidak lupa harus bisa merekrut dealer minimal.  Hm….berpikir keras mencari modal.
          Mencari di Mas Google tentang kiat-kiat mencari modal ternyata cukup banyak referensi. Aku pun terdampar di www.motivasi-islami.com dan ketemu tulisannya Pak Rahmat Mr. Power.  Kesimpulannya dari  membaca tulisan Pak Rahmat Mr.Power, kita dapat menjadikan apa yang kita punya  sebagai modal. Apakah berupa asset, berupa skill, berupa jaringan. Yup, aku punya yang ketiga. Aku punya jaringan teman-teman yang luar biasa. Itu kalian, teman-teman….kalian lah yang aku maksud. Tapi untuk meyakinkan orang-orang bahwa aku pantas mendapat segala sesuatu dari mereka adalah aku harus yakin dengan diriku sendiri bahwa aku bisa memanage usaha yang sedang aku jalankan.
         Liburan 4 hari dalam rangka tahun baru Islam 1434 H memberiku inspirasi untuk membuat sebuah nama untuk bisnisku. Didampingi Zaki, aku membuat logo. Perusahaanku bukan berbentuk CV atau PT atau yang lainnya, karena memang belum tahap pendaftaran dan sebagainya. Cukup hanya berupa manajemen yang akan mengelola semua sumber daya yang ada dengan visi saling memberikan manfaat kepada sesama dan misi berdagang untuk kualitas hidup yang lebih baik. Aku menggunakan nama yang tidak asing lagi : Manajemen Ween2Solusyen.  Harapannya aku tidak hanya akan menguntungkan diriku sendiri aja, tapi menguntungkan semua pihak yang berhubungan denganku. Logo Manajemen Ween2Solusyen dibuat sedemikian berwarna-warni menunjukkan Manajemen Ween2Solusyen sangat dinamis, menerima semua pihak. Dan icon Love berwarna pink menunjukkan bahwa manajemen dijalankan dengan penuh kasih sayang terhadap sesama. Pink juga untuk mengingatkan yang punya manajemen bahwa  dia adalah  seorang wanita tulen sejati. Hehe…..
        
        Dengan ucapan Bismillahirrohmanirrohim…. Dengan semangat yang tidak terputus dari semangat Warung Nasi 45Manajemen Ween2Solusyen saya resmikan. Tok! Tok! Tok!

Jumat, 16 November 2012

WARUNG NASI 45


Suatu waktu di tahun 1992
“WARUNG NASI 45!”, terdengar suara Apih memecah kesunyian. Itu adalah jawaban atas pertanyaan nama yang akan dipakai untuk usaha warung nasi Emih yang sudah berjalan beberapa bulan. Sudah beberapa bulan yang lalu Emih dan Apih membuka usaha warung nasi di Pujasera Taman Endog, Kota Sumedang.
Sebenarnya Emih berjualan nasi sudah hampir dua tahun, namun masih sekedar keliling menawarkan nasi timbel andalannya. Masih terbayang Emih membawa bakul di punggung dan anaknya membawa teko berisi air teh mengekor di belakang Emih. Nasi timbel, ikan japuh dibalut terigu dan sambel tomat adalah menu favorit. Tidak pernah kelihatan capek di wajah Emih. Padahal itu bakul beratnya bukan main.
Sekarang Emih punya roda yang lumayan besar untuk berjualan. Seusai namanya, Pujasera (Pusat Jajan Sore Hari) Taman Endog buka sejak sore hari hingga malam. Maka Emih dan Apih pun memulai lapaknya di jam 4 sore hingga jam 1 pagi.  Setelah beberapa bulan berjalan, baru tercetus bahwa warung nasi itu akan diberi nama. Dan muncullan nama itu. Menurut Apih, “WARUNG NASI 45” adalah pengejawantahan atas perjuangan Emih dan Apih yang tidak kenal lelah dengan semangat juang 45. Dan angka 45 bukan sekedar main-main, karena ternyata Emih dan Apih sama-sama dilahirkan di tahun keramat itu, 1945. Hm....pemilihan nama yang sangat tepat. Harapan Emih dan Apih dan juga anak-anaknya, warung nasi itu akan memiliki banyak pelanggan sehingga dapat menghasilkan omset yang cukup. Tidak muluk-muluk keinginan Emih, cukuplah untuk membiayai anak-anaknya sekolah.
Brand WARUNG NASI 45 pun dibuat dengan menggunakan kain putih seadanya dengan ukuran 75 x 75 cm. Dengan tulisan tangan sederhana, WARUNG NASI 45 ditulis dengan cat warna merah menandakan semangat yang berkobar didalamnya.
 Bertahun-tahun WARUNG NASI 45 beroperasi. Setiap harinya Emih bangun jam 5 subuh menyiangi sayuran dan menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anaknya. Ia memasak hingga jam 1 siang dan bisa istirahat sebentar. Jam 3 sore Apih mulai mendorong roda menuju pasar dan mulai menata dagangannya. Apih biasanya dibantu salah satu anaknya yang bergiliran datang ke pasar. Kemudian Emih datang jam 5 sore dan mulai melayani pelanggannya hingga jam 1 malam. Pelanggan setia Emih adalah para pedagang dan tukang becak di pasar. Bukan apa-apa, porsi nasi yang diberikan Emih cukup besar, sehingga disukai para tukang becak yang notabene porsi makannya banyak dengan lauk yang sedikit. Hehehe...
Tidak sedikit Emih bercerita tentang pelanggan yang suka DARMAJI (Dahar Lima Ngaku Hiji), yang suka CARLES (dikenCARkeun malah ngereLES), yang suka nggak ngembaliin piring dan lain-lain. Tapi tidak jarang juga Emih bercerita tentang pelanggan yang baik, yang suka ngeborong banyak, yang suka ngelebihin bayarnya, yang suka nitip uang untuk anak-anak Emih, dan yang paling berkesan yang suka ngasih utangan ke Emih ketika Emih butuh uang untuk ngebekelin anaknya kuliah. Emih pasti ngingetin anaknya, si Bapak anu, si Ibu anu. Orang-orang baik itu ternyata berkeliaran di sekitar kita. Mereka ngasih utangan tanpa minta bunga, kemudian nagihnya pun gak neko-neko. Kalo Emih bisa bayar, biarpun cuma 5.000 atau 10.000 mereka terima. Kalo Emih lagi gak bisa bayar, meraka pun gak maksa. Dan mereka gak datang nagih tiap hari. Luar biasa mereka itu. Sekarang orang-orang dermawan itu sudah tiada, semoga semua amal baiknya menjemput mereka dengan gembira di alam sana.
WARUNG NASI 45 ramai dikunjungi bila waktunya weekend dan cuaca cerah. Ketika weekend, para pekerja yang pulang dari Jakarta dan Bandung pasti lewat Taman Endog dan mampir di warungnya Emih. Ketika cuaca cerah pun, banyak orang-orang yang sekedar jalan-jalan lalu mampir ke warungnya Emih. Tapi jangan ditanya ketika suasana hujan besar. Untuk para pedagang di Pujasera, hujan besar adalah hambatan karena pasar akan sepi dari pengunjung. Disamping itu hujan besar bisa mengakibatkan aliran air yang deras melalui roda-roda pedagang. Oleh karenanya Emih dan Apih sudah siap-siap dengan sepatu bootnya jika langit sudah keliatan mendung pekat. Namun satu yang tidak bisa dicegah yaitu udara basah dan dingin menusuk ketika hujan. Tak heran rematik cepat mampir di tubuh Emih dan Apih.
WARUNG NASI 45 membawa berkah tersendiri untuk Emih, Apih dan anak-anaknya. Di tengah pengorbanan Emih dan Apih yang sedemikian beratnya, omset WARUNG NASI 45 mengantarkan anak-anak untuk sekolah hingga jenjang sarjana. Anak pertamanya lulus dari IKIP Bandung, anak kedua dan ketiganya lulus dari ikatan dinas D3 STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara), anak keempatnya lulus dari ikatan dinas D3 AMG (AKademi Meteorologi dan Geofisika) dan anak kelimanya lulus D2 PGTK. Kelima anaknya sekolah sebagaimana janji Emih pada http://gmitoro.blogspot.com/2012/09/semua-tentang-emih_28.html
WARUNG NASI 45 dengan semangat yang terpatri di dalamnya telah mengantarkan Emih kepada cita-citanya. WARUNG NASI 45 juga menjadi tempat berlatih untuk anak-anak Emih bagaimana berjuang menghadapi kehidupan dan secara tidak langsung memberikan pelajaran bagaimana kiat-kiat berusaha yang membawakan hasil maksimal. Emih dan Apih tidak pernah mengajarkan caranya berdagang  karena mereka ingin anak-anaknya lebih dari sekedar pedagang. Mereka ingin melihat anaknya duduk di kantor dengan setelan yang rapi dan tidak susah seperti mereka. Namun secara tidak langsung, arena untuk berlatih dagang sebenarnya telah mereka berikan sejak lama. Mulai dari berjualan sepatu, berjualan porkas, berjualan baju keliling, berjualan nasi keliling hingga terakhir WARUNG NASI 45.
Setelah anak-anak Emih mulai bekerja dan mereka mendapat penghasilan yang tetap, WARUNG NASI 45 mulai kekurangan pelanggan. Anak-anak Emih memandang ini layaknya hukum alam bahwa WARUNG NASI 45 telah menunaikan kewajibannya. Rejeki untuk anak-anak Emih melalui WARUNG NASI 45 telah selesai karena mereka sudah memiliki rejekinya masing-masing melalui pekerjaannya, kira-kira seperti itulah.  Rejeki Emih dan Apih pun mulai berkurang melalui WARUNG NASI 45 karena sudah tercover dari rejeki anak-anaknya.
Melihat kondisi WARUNG NASI 45 yang demikian dan juga kondisi Emih dan Apih yang mulai kelihatan lelah, akhirnya diputuskan Emih tidak berjualan lagi. Roda akan dijual, namun tidak termasuk brand WARUNG NASI 45. Emih dan Apih akan pensiun dan tinggal di rumah yang disiapkan salah satu anaknya di daerah Tegalkalong lengkap dengan sawah dan kolam ikan. Rumah yang diidam-idamkan setelah bertahun-tahun. Emih dan Apih pernah memiliki rumah, tapi dijual untuk memenuhi kebutuhan anaknya sekolah. Kini jerih payahnya mulai terbayar satu persatu.

Tahun 2000, WARUNG NASI 45  resmi ditutup.

WARUNG NASI 45 sudah lama tidak ada, Emih juga sudah tiada. Tapi semangatnya masih melekat pada anak-anaknya, bahkan pada cucunya. Zaki pada usia 7 tahun saja sudah punya keinginan untuk diberikan toko karena dia akan membuka warung fotokopi dan warung jelly, makanan kesukaanya. Dua dari lima anak Emih mulai merintis usaha berdagang kecil-kecilan dengan keyakinan bakat usaha Emih melekat pada mereka. Pasti akan lahir brand baru yang semangatnya tidak kalah dari WARUNG NASI 45. 
Lets Wait n See.........