Cari Disini

Rabu, 11 Februari 2015

Behind The Scene Cilok Mindo '45

    
Pernah tahu cemilan ini? Cilok atawa Aci Dicolok. Kalau urang Sunda pasti tahu, yang bukan urang Sunda tapi pernah tinggal di bumi Parahyangan mestinya juga tahu. Ketika SD dahulu kala di Sumedang, tepatnya SD Panyingkiran II, ada warung sekolah yang salah satu jualannya adalah cilok. Coba kita bayangkan sebentar yah.....ciloknya  itu kenyal sekali tapi gak melawan ketika masuk mulut, bumbu kacangnya yang berminyak pedas sangat gurih...penampilannya juga oke banget menggiurkan. Yammiiiii......nom...nom... Jadi kangen masa-masa SD dulu.
       Di jaman sekarang, cilok seperti itu tidak ditemukan lagi. Bahkan, pernah suatu masa, cilok benar-benar gak ditemukan. Mungkin masa itu cilok dianggap makanan pinggiran yang gak ada gizinya sama sekali. Sampai-sampai kangen cilok tuh benar-benar gak kesampaian. Hehe....kayak hidup di planet mana aja... padahal mah di Bogor. Baru beberapa tahun belakangan ini, jajanan tempo dulu muncul lagi. Tukang cilok mulai mewarnai jalanan dengan roda-rodanya. Rasa kangen akan cilok sedikit terobati. Tapi tetap saja tidak ada yang seenak cilok waktu SD dulu. :) Bumbu cilok pun sudah tidak orisinil lagi, kebanyakan tukang cilok menggunakan sedikit kacang tanah untuk bumbunya. Mungkin untuk menekan biaya produksi kali yah.... maklum makin hari harga kacang makin mahal. Rasa cilok juga makin hari makin gak karuan, entah karena bahannya yang tidak bagus, entah karena pembuatannya, entah karena apa.... pernah aku membeli cilok yang baunya sudah tidak asik lagi, mirip-mirip bau asem kaos kaki. Bayangin aja..... Bayangin pula kalo anak-anak kita jajan cilok yang seperti itu, lantas dengan bumbu saos yang bahannya antah berantah. Hiyyyy.....
     Maap yah, tidak semua tukang cilok rasanya seperti itu. Ada juga cilok yang rasanya mantep dan hampir mendekati cilok SD dulu. Di Bandung ada yang namanya Cilok Bapri, Alhamdulillah sudah pernah nyoba, baru ketemu minggu kemarin. Dan rasanya......bikin kita bilang....What A Cheelock!!!!
Selain itu, belum pernah lagi ketemu cilok yang lebih enak rasanya.
      



     Berawal dari pengalaman ketemu cilok yang bau asem, radar sense of bussines-ku berbunyi. Di Jakarta, dimana emak-emak sudah mulai aware dengan makanan yang sehat, sepertinya punya usaha cilok asik juga. Disamping jadi sampingan, bisa menikmati cilok sesuka hati, dan yang penting ini....Zaki gak perlu jajan cilok sembarangan. Resep cilok dengan  mudah diperoleh dari mbah Google. Terima kasih dan sungkem buat para netizen yang telah berbaik hati bagi-bagi resep cilok.
      Pertama kali bikin cilok, rasanya atos alias keras. Sekali dua kali gagal, namun aku begitu pede-nya melempar ke pasaran. Tolok ukur keberhasilan cilokku adalah jika konsumen pesen lagi, berarti sudah diterima oleh lidah konsumen. Tapi, penjualan perdana itu tidak ada tindaklanjutnya. Konsumen tidak berkomentar (mungkin kasian kalo aku dikritik), tidak ada testimoni apa-apa. Akupun memvonis diri sendiri, bahwa eksperimen pertamaku gatot alias gagal total. Eksperimen selanjutnya, target berbeda lagi. Kali ini aku dapat testimoni dari seorang teman, dan inilah yang ditunggu-tunggu. Katanya: "Pas mau dimakan, ciloknya melawan".  Haahahaahha.....malu sebenarnya, tapi tidak apa, ini adalah awal kebangkitan. Calon pengusaha tidak boleh sakit hati ketika dikritik, malah jadikan kritikan itu adalah masukan menuju sukses. Yup....berjibaku lagi membuat adonan. Setelah berkali-kali gagal menemukan tekstur yang pas untuk cilokku,  akhirnya ketemu juga kombinasi resep yang pas. Yess....ketika dilempar ke konsumen target baik edisi gratis maupun berbayar, tanggapannya mulai positif. Sedikit keasinan atau kurang asin dan gurih adalah biasa, yang penting teksturnya oke.
      
Urusan tekstur cilok beres, bumbu kacang no problem, tinggal nama nih. Ketika itu kunamai Cilok Mingdo, artinya adanya Minggu Doang, mengingat aku bikin cilok cuma di hari Minggu. Hihihi...asal aja yah. Nah ternyata di kemudian hari, produksi cilok tidak hanya hari Minggu, nama Mingdo tidak relevan lagi. Nyari nama lain tapi gak jauh beda dengan sebelumnya, ketemu Cilok Mindo '45. Mindo itu artinya nambah lagi (ingat beger mindo? hahhaa) dan '45 adalah nama merk kebesaran  keluarga Apih dan Emih. Dan...inilah Cilok Mindo '45.....atau Cimind '45

Apa bedanya dengan cilok yang lain?
Cimind '45 dibuat dengan sepenuh cinta dari hati yang paling dalam.... bahan-bahannya kualitas super dan istimewa, dibuat tanpa menggunakan MSG, MNG atau bahan pengawet lainnya, penyedap alami dari kaldu ayam, pengenyal alami dari ekstrak rumput laut. Cimind '45 dikemas dengan cantik dalam keadaan vacuum dan disimpan dalam freezer yang membuatnya tetap awet meskipun sudah berminggu-minggu bahkan sampai 2-3 bulan.
O...kalo gitu pasti harganya mahal.... Saya tangkis! Tidak, Cimind '45 dibandrol Rp 15.000,- saja, dengan isi 20 jendol, harganya masih bisa bersaing dengan cilok yang lain.

Akhirnya, telah kutemukan dimana aku bisa menuangkan ekspresi dan mengembangkan sayap. Kuliner Sunda dengan segala singkatan-singkatannya seperti cimol, cilok, cireng, cilung, comro, misro dan lain-lain adalah target selanjutnya. Perjalanan Cimind '45 masih panjang, masih harus ke BPOM, LPP MUI dan sebagainya. Do'akan sukses yah..... Bismillaahirrohmaanirrohiim....Cilok Mindo '45 meluncur.....