"Jam berapa sekarang, Ibu?" Zaki terbangun dari tidur malamnya.
Rupanya dia gak jauh beda dari ibunya, kalo sudah ada rencana seru besok,
malamnya gak bisa tidur nyenyak.
"Jam 12.30 sayang, tidur aja lagi, pagi masih lama. Zaki harus
istirahat dulu, besok perjalanan jauh. Tidur lagi yah..." jawabku. Zaki
pun pulas kembali, sampai pagi.
Pagi ini, Sabtu, 7 Desember
2013, aku dan Zaki punya rencana seru, treking ke air terjun Cibeureum di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango. Jadi inget masa-masa awal menjadi ibu, aku
pernah berharap, anakku kelak bisa mencintai gunung, sebagaimana aku
mencintainya dulu. Lalu aku juga berjanji dalam hati, suatu saat aku akan
mengajaknya ke Gunung Gede Pangrango, sebagai perkenalan anakku dengan gunung.
Bagaikan mimpi jadi kenyataan, aku sangat bersemangat dengan rencana ini. Jam
08.00 kami berangkat dari Bogor dengan menumpang minibus L300 Cianjuran. Luar
biasa, sepanjang jalan Bogor-Cibodas, L300 ini melaju dengan lancar, tidak
menemui titik kemacetan, berkelok-kelok di jalur alternatif dengan mulus.
Meskipun jalur Puncak sangat macet, L300 kami berhasil menghindarinya, sehingga
perjalanan hanya memakan waktu 2 jam perjalanan.
Jam 10.00 sampai di areal wisata
Cibodas. Hawa dingin mulai menyapa. Sudah hampir 2 tahun aku tidak menjejakkan
kaki di Cibodas ini, terakhir ketika penilaian IP, itu juga hanya di sekitar
Kebun Raya Cibodas. Aku hampir lupa jalan menuju gerbang pendakian. Aku
mengingat-ingat ketika waktu dulu tahun 2001 ikut pendakian Kartini, di areal
parkir bis dimana aku istirahat di sebuah warung makan. Sekarang Cibodas sudah
jauh berbeda, tapi tidak sulit untuk menemukan gerbang untuk menuju air terjun,
karena disana sini banyak petunjuk jalan. Lihat, Zaki sudah menemukannya. :)
Aku
dan Zaki berjalan dengan pasti menuju gerbang. Perasaan kami mulai
meletup-letup. Betapa tidak, ini pertama kalinya aku kembali ngetrek setelah
lebih dari satu dasawarsa, dengan ANAKKU. Aku tidak tahu apakah kakiku ini
masih kuat menopang berat tubuhku ketika menapaki tangga batu. Apakah napasku
masih kuat seperti dulu. Jantungku berdegup lebih kuat. Apalagi perjalananku
kali ini membawa misi menyangkut masa depan anakku. Ibarat syair lebay, gunung
pun akan kudaki, lautan kan kusebrangi, demi kamu, Anakku. Mungkin Zaki juga
merasakan hal yang sama, aku yakin itu.
Akhirnya sampai juga kami di gerbang
pendakian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGPP). Tiketnya murah banget,
cuma Rp 3.000,00 per orang. Gerbang ini merupakan gerbang bagi yang akan
mendaki ke puncak Gunung Gede dan puncak Gunung Pangrango. Sudah banyak
pengunjung yang akan naik, baik yang akan berkemah di puncak Gede dan
Pangrango, yang hanya sampai air terjun, atau yang sekedar jalan aja
berdua-duaan. Tujuan pengunjung sangat kelihatan dari style mereka. Pendaki
sudah siap dengan keril mereka yang overweight itu dan sepatu gunungnya.
O my God.... I miss me very much. Pengunjung shortime cukup dengan sandal terbuka
dan tas sekedarnya, seperti kita. Hehee....Nampang dulu, Zak......
Satu persatu anak tangga batu kita
lalui. Jalan terus menanjak seakan-akan tidak ada ujungnya. Sedikitpun tidak
aku lihat kelelahan di wajah Zaki. Dengan ringannya kaki Zaki berjalan dan jika
tidak aku ingatkan terus, pasti dia sudah jauh meninggalkan aku. Hebat anakku, sekalipun
tidak pernah aku dengar napasnya ngos-ngosan. Malah aku dengar napasku sendiri
ngos-ngosan dengan keringat gede-gede. Hehehe.....faktor U, kata orang-orang.
Sepanjang jalan, Zaki tidak henti-hentinya menyapa pengunjung yang berpapasan
atau yang kebetulan kita salip. Sempat-sempatnya juga dia kenalan dengan
pengunjung yang sama-sama akan ke air terjun. Zaki.....zaki..... kamu itu ibu
banget yah....... Sambil melewati hutan tropis yang masih basah karena tak
henti-hentinya hujan, Zaki mereview pelajaran2 sekolahnya. Dia cari benalu,
tali putri, akar pohon, dan lain-lain. Pas banget buat ngingetin pelajarannya
semester ini yang bertema Cinta Lingkungan.
Setelah satu jam
perjalanan, akhirnya sampai kita di Telaga Biru. Telaga kecil dengan air
berwarna biru. Ayo, Zaki, tinggalkan jejak dulu disini.......artinya difoto
dulu. Hehe......
Perjalanan kami lanjutkan. Tidak jauh dari Telaga Biru, kami melewati
jembatan beton. Jembatan beton ini dibangun melintasi Rawa Gayonggong,
jembatannya cukup panjang. Keberadaannya cukup romantis, menurutku. Bayangkan,
di tengah hutan ada jembatan seperti ini. Entah dibangun tahun berapa, yang
jelas dulu terakhir aku kesini 12 tahun yang lalu, belum ada jembatan romantis
ini. Rasa lelah setelah menapaki tanjakan tadi, hilang begitu tiba di jembatan
ini.
Setelah melewati Rawa
Gayonggong, jalan mulai menanjak lagi. Kami pun bersiapberkeringat lagi. Tapi
tak lama kemudian, kami tiba di Pos Panyangcangan, artinya kami tinggal 300 m
lagi menuju air terjun Cibeureum. Pos ini merupakan pertigaan, jika kita ambil
jalan kiri yang menanjak maka kita akan menuju Puncak Gede Pangrango dengan
maksimal jarak 10,5 km menuju puncak Pangrango. Jika kita ambil jalan kanan
menurun, maka kita akan tiba di air terjun Cibeureum.
"Zaki, tahu tidak.... jalan ini adalah jalan menuju Alun-Alun
Suryakencana dan Kawah Gede, Ibu pernah berkemah di sana, seperti di
foto," kataku sambil menunjuk jalan arah ke kanan.
"Aku sudah ada belum?" tanya Zaki.
"Belum, ehmm.......Zaki masih di langit," jawabku sambil bingung
gimana menjelaskannya.
"Nggak....aku masih di perut Ibu," katanya. Hahaahha....aku
tersenyum dan mencium keningnya dengan gemes.
Jalan mulai menurun setelah dari
Panyangcangan. Tak lama terdengar suara gemuruh air, aku yakin itulah air
terjun yang kita tuju. Dari balik dedaunan, akhirnya terlihat semburan air dari
ketinggian. Subhanallooh...... aku berseru pada Zaki. Alhamdulillah, kita
sampai di air terjun. Aku berseru dengan hati yang membuncah. Sejak dari bawah
aku terus berdoa agar diberi kelancaran menuju air terjun. Zaki pun terus aku
motivasi, aku ingatkan terus pesan Bu Estu. Tapi rupanya Zaki lebih semangat
dari motivatornya. Hahahahha....Dia ingin segera nyebur ke air terjun.
Aku masih ingat ke air terjun ini
tahun 2000 ketika mendaki dengan teman-teman KP2LN Bandung 2. Air terjunnya sih
gak berubah, cuma sarana penunjangnya sudah lebih baik. Sudah ada jembatan
beton lagi dan toilet yang bersih. Terbayang foto kita bersama ketika duduk
siap-siap mau nyebur, ada yang ikut kefoto bareng Wagino. Hiyyyyy.....
Semburan air terjun terasa
sampai jauh, hawa dinginnya benar-benar menusuk. Disana sudah ramai pengunjung.
Zaki malah ketemu teman baru, seorang anak kecil berumur 5 tahun bernama Rizki
sudah nyebur duluan ke air terjun. Aku mengarahkan Zaki agar sebisa mungkin
cipratan air terjun mengena di matanya. Menyenangkan sekali berada di bawah
sini. Walaupun dingin banget, tapi hatiku begitu hangat. Ya Allah, apapun yang
kulakukan untuk kesembuhan anakku, semoga Engkau melihat kesungguhanku. Aku
menagih janji-Mu bahwa jika hamba-Mu bersungguh-sungguh, Engkau akan kabulkan
hajatnya. Man Jadda Wajada.
Hanya sampai setengah jam
saja kita berkecimpung dalam dinginnya air terjun. Sempat pindah ke air terjun
yang satunya, lebih tinggi namun arusnya lebih kecil, sehingga tidak menarik
untuk nyebur. Zaki sudah mulai menggigil kedinginan. Biasanya dia excite banget
bermain dengan air, namun kali ini terlalu dingin, sehingga tidak tahan
lama-lama. Waktunya makan....... dan istirahat. Beruntung aku bawa perbekalan
lengkap dengan jaket dan jas hujan, sehingga zaki bisa lebih terlindungi dari
hujan dan gerimis. Misi terselesaikan. Alhamdulillah.......
Kita turun gunung jam 12.30
WIB. Badan sudah segar dan tidak terasa capek lagi, sepertinya perjalanan akan
lancar jaya. Berkali-kali kita berpapasan dengan para pendaki yang akan ke
Puncak Gede Pangrango. Tak lupa Zaki selalu menyapa mereka. God, we'll miss the
waterfalls. Tiba di gerbang pendakian jam 14.00, istirahat dan makan lagi.
Entah kenapa, kalo di gunung itu, menu yang paling nikmat pasti makan mie
instant rebus. Padahal kalo di rumah, mie instant sangat tidak
diperbolehkan. Kali ini kita langgar, deh..... hehehe....
Sebelum kembali ke kota,
kita sempatkan mengunjungi Kebun Raya Cibodas. Numpang sholat dan setor. Sayang
gak bisa keliling dengan menggunakan trem, karena sudah terlalu sore dan tidak
ada pengunjung lagi. Akhirnya kita pulang dengan kenangan paling indah bersama
Zaki. Aku tidak khawatir dengan Zaki, dia hanya merasakan pegal semalam saja,
lebih cepat dibanding aku. Aku pun kembali merasakan sensasi pegal-pegal nikmat
di kedua kakiku, rasa yang sama 12 tahun yang silam. Walapun demikian, sekarang
kakiku tidak sekuat dulu. Kakiku masih kaku jika berhadapan lagi dengan gunung.
Tapi inilah janjiku pada gunung, aku akan kembali mencintainya, dengan
anakku........
Tulisannya bagus, ceritanya menarik
BalasHapus