23 Nopember 2012
“Kenapa Bae sering ga sekolah?” tanyaku
“Ga punya ongkos, Bu,” jawab Bae polos. Dia memainkan lengan
baju putihnya yang kucel dan ngatung. Mataku sudah mulai ga bisa kompromi. Ada
air mata di sudut mataku siap tumpah.
“Emang ongkos ke sekolah berapa bolak balik?” tanyaku
“2 ribu,” jawabnya. Aku melihat Bae dari atas sampai bawah.
Kelihatan celana putihnya pun sudah ngatung pula. Yang pasti bukan karena model
jangkis dia berpakaian seperti itu. Sejak masuk SMP baju seragamnya gak
ganti-ganti.
Hadeuh, ngelus dada rasanya denger jawaban Bae seperti itu.
Bayangkan, jaman milenium begini masih ada orang yang nggak bisa sekolah
gara-gara ga bisa bayar ongkos angkot 2 ribu perak. Kalo SPP sudah pasti anak
ini menunggak berbulan-bulan. Aku tanya ke bagian TU, Bae sudah menunggak sejak
Agustus 2012. Itu artinya sejak Kelas III Semester I dia ga bisa bayar SPP. Padahal
SPP Bae hanya 60 ribu rupiah. Bandingkan dgn SPPnya Zaki ketika TK sebanyak 350
ribu. Duh, Gustiii...
Penasaran dengan sosok Bae, aku menghubungi wali kelasnya.
“Bae sering alpa, Bu. Kalo prestasi, Bae termasuk yang
biasa-biasa aja, golongan menengah ke atas. Perilaku Bae juga baik, tidak
nakal. Namun sayang aja sering tidak masuk. Saya sudah mengajukan agar Bae diberikan
SKT agar terbebas dari SPP, namun saya kurang tahu kenapa sekolah ga bisa
mengeluarkan,” Gurunya menjelaskan.
Aku pun menjelaskan bahwa kedatanganku ke sekolah Bae untuk menyampaikan amanah dari seorang
donatur yang akan membayar SPP Bae. Gak tanggung-tanggung, yang dibayar SPP
sampe Juni 2013, hingga Bae lulus kelas III SMP. Mudah-mudahan dengan lunasnya SPP Bae, Bae
tidak minder lagi sekolah, lebih semangat untuk sekolah, tidak bolos lagi dan
yang penting Bae dapat berprestasi.
Siapakah Bae? Bae adalah Ahmad Baehaqi, anak kedua dari
empat bersaudara. Kakaknya sudah lulus SMK dan baru 10 hari dapat pekerjaan.
Tinggal di daerah Ciherang, Dramaga, Bogor.
Bae adalah anak laki satu-satunya. Satu adik perempuannya masih kelas 2
SD dan satu adiknya lagi masih 3 tahun.
Ibunya hanya ibu rumah tangga biasa, bapaknya kerja di bengkel sepatu. Kondisi
ekonomi yang sedang sulit membuat orang tuanya hanya bisa memberikan pangan
saja, tidak bisa mencukupi kebutuhan lainnya. Masih beruntung anak sulungnya
bisa lulus SMK. Orang tuanya berharap, anak laki satu-satunya itu pun dapat
mengikuti jejak kakaknya, lulus hingga tingkat SMU. Karena suatu saat Bae pasti akan menjadi
tulang punggung keluarga, mereka merasa tidak boleh gagal mendidik Bae.
Aku jadi ingat Bayek di novelnya “Ibuk” karya Iwan Setiawan.
Anak lelaki satu-satunya di keluarga Ibuk berhasil dalam karirnya dan
mengangkat keluarganya dari keterpurukan. Padahal ketika sekolahnya, sepatu
Bayek aja sampe bolong ga ganti-ganti. Novel ini aku pinjamkan ke anak
sulungnya agar menjadi motivasi bahwa kemiskinan tidak menjadi penghalang untuk
menjadi sukses, agar mereka jadi anak-anak yang tangguh dan bersemangat. Hingga
akhirnya anak sulungnya itu punya keinginan untuk kuliah lagi jika ada
kesempatan. Meskipun sekarang dia bekerja, tapi keinginan itu sudah ada. Aku
pun memperkenalkan beberapa sekolah kedinasan yang mungkin bisa jadi pilihan.
Trims banyak untuk Pak Goen atas novelnya. :-)
Kembali ke cerita tentang Bae. Sepulang dari sekolah Bae,
aku pergi mencari rumah Bae. Tidak terlalu sulit mencari rumahnya. Dengan bekal
ilmu selama menjadi Tim Buser (Buru Sertifikat) Barjam (hehe...), akhirnya aku
menemukan kontrakan rumah Bae dan bertemu orang tuanya. Ibunya begitu gembira
melihat aku turun dari ojeg. Kegiatan
rutinnya menjemur baju langsung dihentikan. Wajahnya tirus, badannya kurus. Dia
masih memakai daster ungu dengan bolong disana sini. Yang jelas bukan model
seksi juga dia berpakaian seperti itu.
Aku dipersilakan masuk dan disuguhi air putih. Seperti biasa,
sepanjang pertemuan dengan Ibunya Bae selalu diwarnai dengan tangis-tangisan.
Bukan dia aja, aku juga obral tangisan. Aku sampaikan kuitansi pelunasan SPP
Bae. Dia terkejut dengan jumlah yang besar yang tertera di kuitansi. Aku
bilang, Alhamdulillah ketika dinas kemaren aku bertemu seorang teman yang
sangat baik hati dan mau membantu keluarga Bae. Ibunya Bae langsung nangis
lagi, kalo nggak dicegah barangkali sampe sungkem-sungkem.
“Alhamdulillaaaaaa...h Teh, Ibu sangat berterima kasih.
Tolong sampaikan ke Ibu yang sudah membayar SPP Bae. Hatinya sungguh mulia,
mudah-mudahan diganti oleh Allah dengan rejeki yang berlipat-lipat. Ibu dan
anak-anak pasti nggak akan lupa. Bae jadi tidak
putus sekolah, Bae pasti akan
semangat sekolah. Ibu juga selalu mengingatkan ke anak-anak teh agar selalu
ingat dan mendoakan orang-orang yang sudah membantu Ibu. Mudah-mudahan
dikabulkan ku Allah semua keinginannya. Tolong sampaikan ya Teh.....” katanya.
Aku mengiyakan. Seketika aku teringat masa-masa sekolahku.
Ketika keadaan ekonomi yang sulit, aku pun kesulitan membayar SPP.
Alhamdulillah ada tetangga yang sangat peduli dengan keluargaku. Mereka sangat
dekat sehingga sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Apa Wasman dan Ibu. Mereka
bukan orang kaya raya, mereka hanya orang yang berkecukupan namun berhati
mulia. Merekalah yang turut berjasa membesarkan aku. Tidak punya hubungan
darah, tidak ada pertalian keluarga. Tapi mereka peduli dengan apa yang kami
alami. Aku ingin mewarisi kedermawanan
Apa dan Ibu.
Rasanya gimana....gitu jika aku tidak peduli dengan orang-orang yang
sedang kesulitan terutama untuk sekolah. Aku ingin mereka memiliki kesempatan
yang sama, minimal seperti aku. Aku
ingin mereka merasakan manisnya keberhasilan yang pernah Emih alami ketika
anak-anaknya sudah bekerja dengan mapan. Aku ingin melihat mereka tersenyum
dengan keyakinan bahwa masa depan tidak sesuram apa yang mereka alami sekarang.
Tidak perlu menunggu jadi kaya raya untuk jadi dermawan, tidak perlu menunggu
banyak materi untuk jadi dermawan. Menjadi dermawan dengan segala yang sudah
ada pada diri kita. Memberi semangat, memberi do’a, memberi peluang, memberi
harapan, itu yang baru bisa aku lakukan.
Terimakasih banyak kepada semua teman yang sudah membantu dan
berpartisipasi.
Sekarang sudah ada senyum di wajah Bae. :-)