Suatu waktu di tahun 1992
“WARUNG NASI 45!”, terdengar suara
Apih memecah kesunyian. Itu adalah jawaban atas pertanyaan nama yang akan dipakai
untuk usaha warung nasi Emih yang sudah berjalan beberapa bulan. Sudah beberapa
bulan yang lalu Emih dan Apih membuka usaha warung nasi di Pujasera Taman
Endog, Kota Sumedang.
Sebenarnya Emih berjualan nasi
sudah hampir dua tahun, namun masih sekedar keliling menawarkan nasi timbel
andalannya. Masih terbayang Emih membawa bakul di punggung dan anaknya membawa teko
berisi air teh mengekor di belakang Emih. Nasi timbel, ikan japuh dibalut
terigu dan sambel tomat adalah menu favorit. Tidak pernah kelihatan capek di
wajah Emih. Padahal itu bakul beratnya bukan main.
Sekarang Emih punya roda yang
lumayan besar untuk berjualan. Seusai namanya, Pujasera (Pusat Jajan Sore Hari)
Taman Endog buka sejak sore hari hingga malam. Maka Emih dan Apih pun memulai
lapaknya di jam 4 sore hingga jam 1 pagi. Setelah beberapa bulan berjalan, baru tercetus
bahwa warung nasi itu akan diberi nama. Dan muncullan nama itu. Menurut Apih, “WARUNG
NASI 45” adalah pengejawantahan atas perjuangan Emih dan Apih yang tidak kenal
lelah dengan semangat juang 45. Dan angka 45 bukan sekedar main-main, karena
ternyata Emih dan Apih sama-sama dilahirkan di tahun keramat itu, 1945.
Hm....pemilihan nama yang sangat tepat. Harapan Emih dan Apih dan juga
anak-anaknya, warung nasi itu akan memiliki banyak pelanggan sehingga dapat menghasilkan
omset yang cukup. Tidak muluk-muluk keinginan Emih, cukuplah untuk membiayai
anak-anaknya sekolah.
Brand WARUNG NASI 45 pun dibuat
dengan menggunakan kain putih seadanya dengan ukuran 75 x 75 cm. Dengan tulisan
tangan sederhana, WARUNG NASI 45 ditulis dengan cat warna merah menandakan semangat
yang berkobar didalamnya.
Bertahun-tahun WARUNG NASI 45 beroperasi.
Setiap harinya Emih bangun jam 5 subuh menyiangi sayuran dan menyiapkan sarapan
pagi untuk anak-anaknya. Ia memasak hingga jam 1 siang dan bisa istirahat
sebentar. Jam 3 sore Apih mulai mendorong roda menuju pasar dan mulai menata dagangannya.
Apih biasanya dibantu salah satu anaknya yang bergiliran datang ke pasar. Kemudian
Emih datang jam 5 sore dan mulai melayani pelanggannya hingga jam 1 malam.
Pelanggan setia Emih adalah para pedagang dan tukang becak di pasar. Bukan
apa-apa, porsi nasi yang diberikan Emih cukup besar, sehingga disukai para
tukang becak yang notabene porsi makannya banyak dengan lauk yang sedikit. Hehehe...
Tidak sedikit Emih bercerita
tentang pelanggan yang suka DARMAJI (Dahar Lima Ngaku Hiji), yang suka CARLES
(dikenCARkeun malah ngereLES), yang suka nggak ngembaliin piring dan lain-lain.
Tapi tidak jarang juga Emih bercerita tentang pelanggan yang baik, yang suka
ngeborong banyak, yang suka ngelebihin bayarnya, yang suka nitip uang untuk
anak-anak Emih, dan yang paling berkesan yang suka ngasih utangan ke Emih ketika
Emih butuh uang untuk ngebekelin anaknya kuliah. Emih pasti ngingetin anaknya,
si Bapak anu, si Ibu anu. Orang-orang baik itu ternyata berkeliaran di sekitar kita.
Mereka ngasih utangan tanpa minta bunga, kemudian nagihnya pun gak neko-neko. Kalo
Emih bisa bayar, biarpun cuma 5.000 atau 10.000 mereka terima. Kalo Emih lagi
gak bisa bayar, meraka pun gak maksa. Dan mereka gak datang nagih tiap hari.
Luar biasa mereka itu. Sekarang orang-orang dermawan itu sudah tiada, semoga
semua amal baiknya menjemput mereka dengan gembira di alam sana.
WARUNG NASI 45 ramai dikunjungi
bila waktunya weekend dan cuaca
cerah. Ketika weekend, para pekerja yang
pulang dari Jakarta dan Bandung pasti lewat Taman Endog dan mampir di warungnya
Emih. Ketika cuaca cerah pun, banyak orang-orang yang sekedar jalan-jalan lalu
mampir ke warungnya Emih. Tapi jangan ditanya ketika suasana hujan besar. Untuk
para pedagang di Pujasera, hujan besar adalah hambatan karena pasar akan sepi
dari pengunjung. Disamping itu hujan besar bisa mengakibatkan aliran air yang
deras melalui roda-roda pedagang. Oleh karenanya Emih dan Apih sudah siap-siap
dengan sepatu bootnya jika langit sudah keliatan mendung pekat. Namun satu yang
tidak bisa dicegah yaitu udara basah dan dingin menusuk ketika hujan. Tak heran
rematik cepat mampir di tubuh Emih dan Apih.
WARUNG NASI 45 membawa berkah
tersendiri untuk Emih, Apih dan anak-anaknya. Di tengah pengorbanan Emih dan
Apih yang sedemikian beratnya, omset WARUNG NASI 45 mengantarkan anak-anak
untuk sekolah hingga jenjang sarjana. Anak pertamanya lulus dari IKIP Bandung,
anak kedua dan ketiganya lulus dari ikatan dinas D3 STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara), anak keempatnya lulus dari ikatan dinas D3 AMG (AKademi Meteorologi
dan Geofisika) dan anak kelimanya lulus D2 PGTK. Kelima anaknya sekolah sebagaimana
janji Emih pada http://gmitoro.blogspot.com/2012/09/semua-tentang-emih_28.html
WARUNG NASI 45 dengan semangat yang
terpatri di dalamnya telah mengantarkan Emih kepada cita-citanya. WARUNG NASI
45 juga menjadi tempat berlatih untuk anak-anak Emih bagaimana berjuang
menghadapi kehidupan dan secara tidak langsung memberikan pelajaran bagaimana
kiat-kiat berusaha yang membawakan hasil maksimal. Emih dan Apih tidak pernah
mengajarkan caranya berdagang karena
mereka ingin anak-anaknya lebih dari sekedar pedagang. Mereka ingin melihat
anaknya duduk di kantor dengan setelan yang rapi dan tidak susah seperti mereka.
Namun secara tidak langsung, arena untuk berlatih dagang sebenarnya telah mereka
berikan sejak lama. Mulai dari berjualan sepatu, berjualan porkas, berjualan baju
keliling, berjualan nasi keliling hingga terakhir WARUNG NASI 45.
Setelah anak-anak Emih mulai
bekerja dan mereka mendapat penghasilan yang tetap, WARUNG NASI 45 mulai
kekurangan pelanggan. Anak-anak Emih memandang ini layaknya hukum alam bahwa
WARUNG NASI 45 telah menunaikan kewajibannya. Rejeki untuk anak-anak Emih
melalui WARUNG NASI 45 telah selesai karena mereka sudah memiliki rejekinya
masing-masing melalui pekerjaannya, kira-kira seperti itulah. Rejeki Emih dan Apih pun mulai berkurang
melalui WARUNG NASI 45 karena sudah tercover dari rejeki anak-anaknya.
Melihat kondisi WARUNG NASI 45 yang
demikian dan juga kondisi Emih dan Apih yang mulai kelihatan lelah, akhirnya
diputuskan Emih tidak berjualan lagi. Roda akan dijual, namun tidak termasuk brand WARUNG NASI 45. Emih dan Apih akan
pensiun dan tinggal di rumah yang disiapkan salah satu anaknya di daerah
Tegalkalong lengkap dengan sawah dan kolam ikan. Rumah yang diidam-idamkan
setelah bertahun-tahun. Emih dan Apih pernah memiliki rumah, tapi dijual untuk
memenuhi kebutuhan anaknya sekolah. Kini jerih payahnya mulai terbayar satu
persatu.
Tahun 2000, WARUNG NASI 45
resmi ditutup.
WARUNG NASI 45 sudah lama tidak ada, Emih juga sudah tiada. Tapi semangatnya masih melekat pada anak-anaknya, bahkan pada cucunya. Zaki pada usia 7 tahun saja sudah punya keinginan untuk diberikan toko karena dia akan membuka warung fotokopi dan warung jelly, makanan kesukaanya. Dua dari lima anak Emih mulai merintis usaha berdagang kecil-kecilan dengan keyakinan bakat usaha Emih melekat pada mereka. Pasti akan lahir brand baru yang semangatnya tidak kalah dari WARUNG NASI 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar